Oleh : Rizda
Alifiana Wiranda Putri
SMPN 1 Magetan
Suara Menik tersisa isahnya
“Mbok,
aku lapar !”
“Ya nak,
sabar mbok belum mempunyai
uang yang cukup untuk membeli makanan.”
“Tapi Menik sangat lapar mbok!.’’ Menik terus memegangi perutnya”
“Ya nak nanti mbok akan meminta sisa makanan di warung-warung untuk pengganjal perut kita.’’
Wajah Mbok
Menur tampak murung dia
hanya bisa
membayangkan betapa perih perut ini menahan lapar seharian. Kisah kehidupan
mereka sangat menyedihkan semenjak bapak Menik meninggalkan rumah dan tak
pulang-pulang. Sehari-hari Mbok Menur bekerja menyapu jalanan dibantu oleh
anaknya Menik. Di rumah gubuk yang di tinggali Mbok
Menur dan Menik memang sangat memperihatinkan
gentingya sudah banyak yang rusak dan hampir roboh, dindingnya yang terbuat dari anyaman bambu sudah tidak layak, lantainya pun hanya terbuat dari tanah.
Halaman rumah Mereka pun banyak tumpukan sampah yang tidak
terawat dan menimbulkan bau tidak sedap, dan bibit penyakit
Matahari mulai memanggang tubuh Mbok
Menur dan Menik beberapa
kali mereka mengusap keringat di kening nya. Dari menyapu
jalan lah keluarga itu
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Menik mengkuti mboknya menyapu jalan sambil terus memegangi perut menahan
lapar.
Mata orang yang melihat mereka merasa iba dan
kasihan. Tidak jarang Mbok
Menur dan Menik disindir
banyak orang karena pekerjaanya yang hanya seorang penyapu jalan. Mereka hanya bisa pasrah dan mengelus dada, tetapi tak jarang juga, ada orang berhati mulia yang mau
memberi sedekah pada mereka.
Saat mereka istirahat di pinggir
jalan. Mata Menik
melihat ke arah anak-anak
berseragam biru-putih yang bergembira ria, berbeda denganya yang sehari-harinya hanya membantu
mboknya menyapu jalan. Dalam
hati kecilnya ia memendam sebuah keinginan, yaitu keinginan untuk bersekolah.
Sekarang keinginan itu hanya tinggal angan-angan Menik pun sedikit meneteskan air mata dan
menyembunyikan kesedihannya
“ Apakah kamu sedang menangis, Menik ?’’
‘’ Tidak mbok, mata Menik hanya kemasukan debu !’’ Menik menutupi kesedihannya
“ Jangan bohong Menik, mbok tau apa yang kamu rasakan !”
“ Tidak mbok, Menik tidak bohong”
“ Menik kita harus menerima kenyataan nasib hidup kita inilah hidup
anugerah dari tuhan yang harus di syukuri.
“ Ya mbok Menik mengerti.”
“Kamu belum mengerti Menik, kemiskinan yang sesungguhnya adalah kemiskinan hati bukan harta. Apakah
hati kamu bisa
menerima kenyataan ini ?”
Menik hanya terdiam. Hatinya luluh karena kata-kata mboknya sungguh mnyentuh perasaan dan Menik hanya bisa menahan perasaan
yang selau mendesaknya itu !. Menik dan Mboknya melanjutkan mennyapu di tempat lain. Di tengah jalan mereka terhenti
sejenak mereka menemukan sebuah dompet yang tergeletak lalu diambil dan dibuka
pelan-pelan oleh mbok Menur. ternyata ada banyak sekali uang, surat-surat dan kartu
penting. Ia mengambil dan membaca KTP di dalam dompet itu dan Ia
berusaha mengembalikan dompet itu pada pemiliknya. ternyata pemiliknya adalah seorang
ibu yang kaya raya. Saat
mau menyerahkan dompet tersebut ibu yang kehilangan dompet itu terlihat kebingungan dan
mencari-cari dompet tersebut. Lalu Mbok Menur dan Menik menghampiri dan menyerahkan
dompet tersebut. Karena sangat gembira dompetnya ketemu karena kejujuran dan
kebaikan hati dari Mbok Menur dan anaknya Ia mengucapkan banyak terimakasih dan
meminta pada Mbok Menur dan Menik untuk ikut menjadi anggota keluarganya
“Mbok
begini saja, apakah mbok dan Menik mau tinggal bersama saya semua kebutuhan
kalian akan terpenuhi dan mbok juga tidak usah lagi bekerja keras menyapu
jalan.”
Simbok
terdiam selama beberapa saat. Beliau memejamkan mata
“Itu semua
terserah Menik saja, Bu. Saya tidak keberatan” jawab si mbok. Menik menatap si
mbok kasihan. Menik ingin bersekolah tanpa membebaninya. Sehingga Menik
memutuskan untuk mau di ajak ibu orang kaya tersebut
. Akhirnya mulai saat itu Menik bisa bersekolah seperti
teman-temannya yang lain dan hidup bahagia.